Selasa, 07 April 2009

filsafat perrenial

TASAWUF PERENNIAL, KEARIFAN KRITIS KAUM SUFI

Pengantar

Perennial adalah kebijaksanaan abadi, hikmah abadi atau dapat disebut dengan hakikat abadi. Terma ini karena mengandung makna yang mengkerucut sebagai kebajikan yang banyak ingin dicapai oleh manusia, oleh agama, maka dia mengejawantah dan menjelma menjadi sebuah aliran yang banyak digeluti dan diminati oleh para pemikir. Karena digeluti oleh para pemikir yang tentunya punya kerangka dan metodologi tertentu yang logic, rasional, empiris maka terbawalah perennial ini menjadi berpadan dengan filsafat, karena filsafat sendiri adalah sebuah kerangka atau metodologi berfikir yang logis, sistematis, empiris dan radix, yang membicarakan sebuah persoalan secara radikal (sampai keakar) sebuah permasalahan.

Filsafat Perennial cenderung dipengaruhi oleh nuansa spiritual yang kental. Hal ini disebabkan oleh tema yang diusungnya, yaitu “Hikmah keabadian” yang hanya bermakna dan mempunyai kekuatan ketika ianya dibicarakan oleh agama. Makanya tidak mengherankan baik di barat maupun Islam, bahwa lahirnya filsafat perennial adalah hasil telaah kritis para filosof yang sufi (Mistis) dan sufi (mistis) yang filosof pada zamannya. Filsafat perennial telah ada sejak kemunculan agama, yang mengandung banyak sekali kebajikan.

Perennial lahir oleh perpaduan antara Filsafat sebagai sebuah metodologi berfikir dengan mistisisme sebagai Spiritual Experience yang penuh hikmah dan ketersingkapan. Dalam Hikmah abadi, - yang dalam terminologi bahasa Arab disebut al-hikmah al-atiqah -, memberikan gambaran bahwa dimensi spiritual dalam agama adalah sesuatu yang sangat penting karena Spiritualitas yang berdimensi pada empati dan kasih sayang adalah jantung agama dan jantung agama adalah dimensi esoterik (qalb/batini) yang mencerminkan kasih sayang TUHAN, yang memungkinkan manusia meninggalkan sifat egoisme, kerakusan, kekerasan, dan ketidaksantunan. [i]

Aldous Huxley dalam bukunya The Perennial Philosophy menjelaskan bahwa yang pertama sekali menggunakan Frase “Perennial Philosophy” adalah Leibniz, walaupun pada hakikatnya telah ada sejak dulu kala. Berkat Huxleylah Filsafat Perennial menjadi terkenal di Barat. Tetapi, bagi Seyyed Hossen Nasr – yang juga seorang tokoh filsafat perennial- sebagai sebuah mazhab filsafat dan mistisime, menjadi terkenal dan terus diperbincangkan sampai hari ini dikalangan Barat dan Islam adalah berkat kerja keras para pionirnya yang disebut Seyyed sebagi the Master (Para Guru) yaitu Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy dan Fritjof Schuon. [ii]

Tentang filsafat perenial atau Hikmah Abadi, Huxley menjelaskan: “Prinsip-prinsip dasar Hikmah Abadi dapat ditemukan diantara legenda dan mitos kuno yang berkembang dalam masyarakat primitif di seluruh penjuru dunia. Suatu versi dari Kesamaan Tertinggi dalam teologi-teologi, dulu dan kini, ini pertama kali ditulis lebih dari dua puluh lima abad yang lalu, dan sejak itu tema yang tak pernah bisa tuntas ini dibahas terus-menerus, dari sudut pandang setiap tradisi agama dan dalam semua bahasan utama Asia dan Eropa.”

Jadi, jelas, bahwa tema utama Hikmah Abadi adalah ‘hakikat esoterik’ yang abadi yang merupakan asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan yang terekspresikan dalam bentuk ‘hakikat-hakikat.[iii]

Hikmah abadi kalau kita telusuri secara mendalam akan berujung dan berpangkal pada Yang Maha Transenden dan IaNya adalah TUHAN. Disinilah segala Keabadian berawal dan berpuncak karena segala keabadian adalah TUHAN itu sendiri. Pengetahuan ini hanya dapat diperoleh melalui jalan spiritual sebagai ilmu yang utama diantara ilmu-ilmu lain. Seperti dikatakan Guenon bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang lain harus dicapai juga, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual. Menurut Guénon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transenden (TUHAN).[iv]

Nurcholish Madjid mengatakan bahwa manusia menurut fitrahnya adalah makhluk agama. Sifat itu berpangkal dari naluri alamiahnya untuk menyembah atau mengabdi kepada suatu objek atau wujud yang dipandangnya lebih tinggi daripada dirinya sendiri atau menguasai dirinya. Dan naluri ini sesungguhnya merupakan penyaluran dari dorongan yang jauh dibawah sadarnya yang mendalam, yaitu dorongan gerak kembali kepada Tuhan akibat adanya perjanjian primordial dengan penciptanya itu di alam ruhani. Inilah hakikat filsafat perennial sebenarnya.[v]

Wujud nyata pengaruh pengalaman spiritual manusia yang amat jauh dibawah sadar itu ialah dorongan batin yang amat kuat untuk menyembah. Dalam diri mnusia ada kerinduan yang besar sekali untuk kembali kepada Tuhan, memenuhi janjinya dalam kalimat persaksian tersebut tadi, inilah – sekali lagi - hakikat dari filsafat perennial yaitu dorongan untuk beragama. Sehingga membendung dorongan itu ialah pekerjaan melawan alam atau natur manusia, maka tidak akan berhasil. Contohnya ialah eksperimen komunisme yang kini terbukti gagal.

Karena dorongan itu tidak dapat dibendung, ia akan mencari saluran mana saja. Jika tidak tersalurkan dengan baik, dorongan itu akan muncul dalam bentuk-bentuk amalan dan praktik penyembahan yang merugikan diri manusia sendiri. Menurut rancangan Ilahi, manusia adalah puncak ciptaan Tuhan, makhluk yang paling mulia. Karenanya manusia janganlah sampai melakukan sesuatu yang mengurangi harkat dan martabatnya sebagai makhluk yang paling mulia itu, dengan tidak tunduk atau menyembah kepada apapun selain Allah, Tuhan yang Maha Esa saja.[vi]

Tasawuf Perennial vis a vis Filsafat Perennial

Salah satu saluran yang penting untuk mengapresiasikan dan mengamalkan segala bentuk penyembahan atau pengabdian atas wujud yang dirasa lebih dari diri manusia yaitu Tuhan sebagaimana tujuan dari Filsafat Perennial adalah Tasawuf. Dalam Islam, tasawuf adalah praktek keagamaan yang penuh dimensi esoterik, hikmah-hikmah abadi agama hanya akan tersingkap melalui jalan ini. Sedangkan jalan Syari’at adalah jalan yang penuh eksoterik (tampilan luar, Formalitas, kulit) yang tidak akan pernah bisa menjangkau hikmah dan tujuan abadi agama, apalagi dalam fenomena ketersingkapan.

Kautsar Azhari Noer mendefinisikan bahwa tasawuf perennial adalah Tasawuf yang ideal, tasawuf mistis, tasawuf yang benar-benar tasawuf, tasawuf sufi, tasawuf yang bersumber dari al-Quran dan sunnah, yaitu tasawuf sebagai jalan spiritual menuju Allah, berintikan akhlak mulia, mendekatkan manusia pada Allah, tetap setia pada Syari’at, menekankan keseimbangan antara aspek-aspek lahiriah dan batiniah, material dan spiritual, duniawi dan ukhrawi, berpihak pada orang-orang lemah dan tertindas..[vii]

Tasawuf adalah dimensi spiritual tertinggi dalam Islam. Spiritualitas adalah sunnatullah dan hukum alam yang tidak bisa dilawan, dia berasal dari sesuatu yang ada (maujud) untuk mengenal dan mengetahui yang maujud itu. Yang selalu membicarakan yang Suci (The Secred), Yang satu (The One). Seperti distingsi (pembagian) filsafat yang dilakukan Huston Smith, yang membagi filsafat kepada dua tradisi besar yang sangat kontras, yaitu “filsafat tradisional” dan filsafat modern. Dimana filsafat tradisional yang lebih terkenal dengan “the perennial philosophy” adalah filsafat yang selalu membicarkan yang suci dan yang satu dalam seluruh manifestasinya, seperti dalam agama, filsafat, sains dan seni. Sedangkan filsafat modern, justru sebaliknya, yaitu membersihkan “Yang Suci” dan “Yang Satu” dari alam pemikiran agama, filsafat, sains dan seni, sehingga keeempat alam tersebut telah benar-benar dikosongkan dari “Yang Suci” atau dilepaskan dari kesadaran terhadap “Yang Satu”. [viii]

Berdasarkan pembagian Huston Smith diatas, maka jelaslah dimana urgensitas tasawuf itu sebenarnya. Disinilah letak ketinggian tasawuf bahkan dari Filsafat tradisional sekalipun. Karena selalu membicarakan Yang Satu, Yang Suci tanpa ada sebuah praktik, metode dan jalan adalah sesuatu yang belum final, sehingga perlu ada kelanjutan dan finalisasi dari itu semua dan itu adalah tasawuf. “The Perennial” yang sebenarnya ada dalam tasawuf, bukan dalam filsafat, karena dalam tasawuf punya metodologi yang jelas, terarah untuk tidak hanya membicaran, tetapi juga mengenal secara realitas,Logis dan empiris “Yang Suci” dan “Yang Satu” dan selalu berada bersama “Yang Satu” dan “Yang Suci” dalam segala masa, konteks, ruang dan waktu. Bukankah metodologi mengenal dan menciantai “Yang Satu” dan “Yang Suci” dalam tasawuf telah memenuhi syarat-syarat sebuah pengetahuan modern ?.

Tasawuf dengan para sufi sabagai pionernya adalah golongan-golongan yang kritis dan berjasa dalam menyibak hakikat-hakikat kegamaan untuk mencerahkan umat. Betapa banyak orang yang tekun menjalankan perintah-perintah agama, akan tetapi tanpa tahu apa maknna hakikat dari ibadah yang dilaksanakan, hanya golongan sufilah yang bisa menjelaskan ini dan hanya dengan jalan sufi yang terorganisasikan dalam thariqat yang mampu memuaskan dahaga pengetahuan umat yang ingin mengetahui dan mengenal Tuhan sebagi “Yang Punya” segala hakikat, kalau sudah kenal dengan “Yang Punya” segala hakikat, otomatis akan mengetahui segala hakikat keagamaan. Ini adalah hukum logis, “dekat dengan api pasti panas” , kalau tidak panas bukan api “dekat dengan es pasti dingin”, kalau tidak dingin bukan es.

Ilmu tasawuf adalah ilmu yang sepadan dan menjangkau segala jenis ilmu, mulai dari yang social sampai dengan yang eksact. Karena Islam itu adalah Ilmu dan amal, memadukan kecerdasan akal dengan kepekaan hati. Dan sufi bukanlah orang yang meninggalkan dunia, tetapi mereka ingin mengguncangkannya, mereka tidak menghindari masalah, tetapi menyonsong dan menyelesaikannya. Mereka tidak membenci rasio, mereka malah meningkatkan dan memperluas kemampuan rasio. [ix]


[i]. Azyumardi Azra, Filsafat Perennial, Kolom Resonansi Harian Kompas ( 12 September 2006)

[ii] Adian Husiani, Hikmah Abadi: Apa Itu ? Catatan Akahir Pekan (CAP) www.Hidayatullah.Com ( 14 Oktober 2006)

[iii] Ibid

[iv] Ibid

[v]. Nurcholis Madjid, dalam Budhy Munawar Rahman : Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, Kata Pengantar,… Hal. xv

[vi]. Ibid

[vii]. Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perennial. Kearifan Kritis Kaum Sufi,Penerbit PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003, hal. 13

[viii] Budhi Munawar Rahman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal 103

[ix] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, ceramah-ceramah di kampus, Penerbit : Mizan, 20004, Hal. 99

karakteristik filsafat

BAB I

PENDAHULUAN

Filsafat adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia kritis. Filsafat adalah induk ilmu pengetahuan. Filsafat disebut dengan induk ilmu pengetahuan karena memang filsafatlah yang telah melahirkan segala ilmu pengetahuan yang ada. Kehadirannya yang terus menerus di sepanjang peradaban manusia telah memberi kesaksian yang meyakinkan tentang betapa pentingnya filsafat bagi manusia.

Filsafat disebut sebagai suatu ilmu pengetahuan yang bersifat eksistensial, artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan justru filsafatlah yang jadi motor penggerak kehidupan kita sehari-hari baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektif dalam bentuk sesuatu masyarakat atau bangsa.

Untuk itu sebagai manusia yang haus akan mencari kebenaran, perlu bahwasannya untuk mengetahui lebih jelas tentang filsafat. Berikut adalah pembahasan mengenai ciri-ciri filsafat dan pembagiannya. Bagaimanakah sifat filsafat itu sebenarnya, dan apa yang menjadi ciri umum dalam filsafat. Dalam pembahasan kali ini dimohonkan agar pembaca mengetahui tentang berapa pentingnya belajar filsafat dan mengetahui bagaimanakah filsafat itu sebenarnya yang dijelaskan menrut ciri-cirinya dan beberapa pembagiannya.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Karakteristik Filsafat

Berfilsafat adalah berfikir, namun tidak semua berfikir adalah berfilsafat. Berfikir filsafat mempunyai karakteristik atau ciri-ciri khusus. Bermacam-macam buku menjelaskan cirri-ciri berfikir filsafat dengan bermacam-macam pula. Tidak lain diantaranya akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Konsepsional

Perenungan filsafat berusaha untuk menyusun suatu bagian konsepsional. Konsepsi (rencana) merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses satu demi satu.[1]

Filsafat merupakan pemikiran tentang hal-hal serta proses dalam hubungan umum. Diantara proses-proses yang dibicarakan ini dalam pemikiran itu sendiri.

2. Koheren

Perenungan kefilsafatan berusaha untuk menyusun suatu bagan yang koheren yang konsepsional[2]. Secara singkat istilah kohern ialah runtut. Bagan konsepsional yang merupakan hasil perenungan kefilsafatan haruslah bersifat runtut.

Dalam arti lain koheren bisa juga dikatakan berfikir sistematis, artinya berfikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran. Dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling hubungan yang teratur.[3] Secara singkat, kohern berarti berfilsafat yang berusaha menyusun suatu bagan secara runtut

3. Memuburu kebenaran

Filsuf adalah pemburu kebenaran, kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti memburu kebenaran tentang segala sesuatu.[4]

Kebenaran filsafat tidak pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak dari suatu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti. Kebenaran yang baru ditemukan itu juga terbuka untuk dipersoalkan kembali demi menemukan kebenaran yang lebih meyakinkan.

4. Radikal

Berfilsafat berarti berfikir radikal. Filsuf adalah pemikir yang radikal. Karena berfikir secara radikal, ia tidak akan pernah berhenti hanya pada suatu wujud realitas tertentu. Keradikalan berfikirnya itu akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan realitas seluruh kenyataan, berarti dirinya sendiri sebagai suatu realitas telah termasuk ke dalamnya sehingga ia pun berupaya untuk mencapai akar pengetahuan tentang dirinya sendiri.[5] .

Telah jelas bahwa artinya berfikir radikal bisa diartikan berfikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai kepada konsekuensinya yang terakhir. Berfikir itu tidak setengah-setengah, tidak berhenti di jalan tetap terus sampai ke ujungnya.

Berfikir radikal tidak berarti hendak mengubah, membuang atau menjungkirbalikkkan segala sesuatu, melainkan dalam arti sebenarnya, yaitu berfikir secara mendalam. Untuk mencapai akar persoalan yang dipermasalahkan. Berfikir radikal justru hendak memperjelas realitas.

5. Rasional

Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bahan konsepsional yang bersifat rasional.[6] Yang dimaksudkan dengan bagan konsepsionl yang bersifat rasional ialah bagan yang bagian-bagiannya secara logis berhubungan satu dengan yang lain.

Berpikir secara rasional berarti berpikir logis, sistematis, dan kritis berpikir logis adalah bukan hanya sekedar menggapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat, melainkan agar sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari premis-premis yang digunakan.

Berpikir logis yang menuntut pemikiran yang sistematis. Pemikiran yang sistematis ialah rangkaian pemikiran yang berhubungan satu sama lain atau saling berkaitan secara logis.

Berfikir kritis berarti membakar kemampuan untuk terus menerus mengevaluasi argument-argumen yang mengklaim diri benar. Seorang yang berpikir kritis tidak akan mudah menggenggam suatu kebenaran sebelum kebenaran itu dipersoalkan dan benar-benar diuji terlebih dahulu. Berpikir logis, sistematis - kritis adalah ciri utama berfikir rasional.

6. Menyeluruh

Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagan konsepsional yang memadai untuk dunia tempat kita hidup maupun diri kita sendiri.[7] Suatu sistem filsafat harus bersifat komprehensif, dalam arti tidak ada sesuatu pun yang berada di luar jangkauannya jika tidak demikian, filsafat akan ditolak serta dikatakan berat sebelah dan tidak memadai.

Berfikir universal tidak berpikir khusus, terbatas pad bagian-bagian tertentu, namun mencakup secara keseluruhan. Berpikir filsafat harus dapat menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta, tidak terpotong-potong.

Pemikiran yang tidak hanya berdasarkan pada fakta yaitu tidak sampai kesimpulan khusus tetapi sampai pada kesimpulan yang paling umum[8]. Sampai kepada kesimpulan yang paling umum bagi seluruh umat manusia di manapun kapanpun dan dalam keadaan apapun.

B. Pembagian filsafat

Pada tahap awal kelahiran filsafat apa yang disebut filsafat itu sesungguhnya mencakup seluruh ilmu pengetahuan kemudian filsafat itu berkembang sedemikian rupa menjadi semakin rasional dan semakin luas dan bertambah banyak, tetapi juga semakin mengkhusus. Lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang satu persatu mulai memisahkan diri dari filsafat.

Bidang-bidang studi filsafat juga disebut sebagai cabang-cabang filsafat pembagian bidang-bidang studi atau cabang-cabang filsafat, sejak kelahirannya hingga pada masa kini, tidak pernah sama kendati itu tidak berarti sama sekali berbeda. Jika disimak dengan cermat, sesungguhnya isi setiap cabang filsafat itu senantiasa memiliki kesamaan satu sama lain.

  1. Aristoteles

Aristoteles membagi filsafat ke dalam tiga bidang studi sebagai berikut:

1. Filsafat Spekulatif atau Teoritis

Filsafat spekulatif atau teoritis bersifat objektif. Termasuk dalam bidang ini ialah fisika, metafisika, biopsikologi dan sebagainya. Tujuan utama filsafat spekulatif ialah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.

2. Filsafat Praktika

Filsafat praktika memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya. Termasuk dalam bidang ini ialah etika dan politik. Sasaran terpenting bagi filsafat praktika ialah membentuk sikap dan perilaku yang akan memampukan manusia untuk bertindak dalam terang pengetahuan itu.

3. Filsafat Produktif

Filsafat produktif ialah pengetahuan yang membimbing dan menuntun manusia menjadi produktif lewat suatu keterampilan khusus. Termasuk dalam bidang ini ialah kritik sastra, retorika dan estetika. Adapun sasaran utama yang hendak dicapai lewat filsafat ini ialah agar manusia sanggup menghasilkan sesuatu, baik secara teknis maupun secara puitis dalam terang pengetahuan yang benar.

  1. Christian Wolff (1679-1754)

Christian seorang filsuf rasionalis Jerman pengikut Leibniz, membagi filsafat ke dalam cabang-cabang berikut:

1. Logika

2. Ontologi

3. Kosmologi

4. Psikologi

5. Teologi Naturalis

6. Etika

  1. Will Durant

Dalam bukunya yang berjudul The Story of Philosophy yang diterbitkan sejak tahun 1926, mengemukakan lima bidang studi filsafat sebagai berikut:

1. Logika : Logika adalah studi tentang metode berpikir dan metode penelitian ideal yang terdiri dari observasi, introspeksi, deduksi dan induksi, hipotesis dan eksperimen, analisis dan sintesis, dan sebagainya.

2. Estetika : Estetika adalah studi tentang bentuk ideal dan keindahan. Estetika disebut juga sebagai filsafat seni.

3. Etika : Etika adalah studi tentang perilaku yang ideal.

4. Politika : Politika adalah studi tentang organisasi sosial yang ideal, yaitu monarki, aristokrasi, demokrasi, sosialisme, anarkisme, dan sebagainya.

5. Metafisika : Metafisika terdiri dari ontology, filsafat psikologi dan epistemologi.

  1. Plato

Plato membedakan filsafat atas tiga bagian sebagai berikut:

1. Dialektika : Tentang idea-idea atau pengertian-pengertian umum.

2. Fisika : Tentang dunia materiil.

3. Etika : Tentang kebaikan.

  1. Penulis ENSIE (Eerste Nederlands Systematich Ingeriche Encyclopedia)

Membagi filsafat ke dalam sepuluh cabang sebagai berikut:

1. Metafisika 6. Filsafat Kultural

2. Logika 7. Filsafat Sejarah

3. Epistemologi 8. Estetika

4. Filsafat ilmu 9. Etika

5. Filsafat Naturalis 10. Filsafat Manusia

  1. The World University Encyclopedia

Membagi filsafat ke alam cabang-cabang sebagai berikut:

1. Sejarah filsafat

2. Metafisika

3. Epistemologi

4. Logika

5. Etika

6. Estetika


BAB III

KESIMPULAN

Dalam pembahasan untuk mencari apakah karakteristik atau ciri-ciri filsafat tersebut maka dapat disimpulkan bagaimanakah ciri-ciri filsafat. Berfikir filsafat mempunyai ciri-ciri yang telah dijelaskan dalam pembahasan tersebut yaitu: konsepsional koheren, memburuk kebenaran, radikal, rasional serta menyeluruh.

Keenam ciri-ciri tersebut saling berkaitan atau saling terkait dalam berfikir filsafat. Dan pada intinya berfikir filsafat adalah mengejar kejelasan berarti harus berjuang dengan gigih untuk mengeliminasi segala sesuatu yang tidak jelas, yang kabur, dan yang gelap, bahkan juga serta rahasia dan berupa teka-teki. Tanpa kejelasan, filsafat pun akan menjadi yang mistik, serba rahasia, kabur, gelap dan tak mungkin dapat menggapai kebenaran. Jelas terlihat bahwa berfilsafat sesungguhnya merupakan suatu perjuangan untuk mendapatkan suatu perjuangan untuk mendapatkan kejelasan pengertian dan kejelasan seluruh realitas. Perjuangan mencari kejelasan itu adalah satu sifat dasar filsafat.

Sedangkan pada pokok bahasan pembagian filsafat yang telah dijelaskan panjang lebar, dengan menjelaskan beberapa pembagian yang menurut beberapa tokoh filsafat terkenal, maka dapat disimpulkan atau istilah lain pembagian filsafat pada umumnya filsafat dibagi ke dalam enam bidang studi cabang utama yaitu: epistemology, metafisika yang dibagi lagi menjadi (ontology, kosmologi, teologi metafisik, antropologi), logika etika estetika dan filsafat tentang berbagai disiplin ilmu.


DAFTAR PUSTAKA

Kattsof , Louis O, pengantar filsafat, yogyakarta: tiara wacana 2004.

Salam, Burhanuddin, pengantar filsafat Jakarta: bumi aksara 1995.

Rapar, Jon hendrik, pengantar filsafat. yogyakarta: kanisius 1996,



[1] Louis O Kattsof, pengantar filsafat (yogyakarta: tiara wacana 2004) hlm. 7

[2] Louis O Kattsof, pengantar filsafat (yogyakarta: tiara wacana 2004) hlm. 8

[3] Drs. H. Burhanuddin salam, pengantar filsafat (Jakarta: bumi aksara 1995) hlm 60

[4] Dr. Jon hendrik rapar, pengantar filsafat. (yogyakarta: kanisius 1996) hlm . 22

[5] Dr. Jon hendrik rapar, pengantar filsafat. (yogyakarta: kanisius 1996) hlm 21

[6] Louis O Kattsof, pengantar filsafat (yogyakarta: tiara wacana 2004) hlm. 10

[7] Louis O Kattsof, pengantar filsafat (yogyakarta: tiara wacana 2004) hlm. 12

[8] Drs. H. Burhanuddin salam, pengantar filsafat (Jakarta: bumi aksara 1995) hlm 60

kajian filsafat

ONTOLOGI :
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui. Apa yang ingin diketahui oleh ilmu? atau dengan perkataan lain, apakah yang menjadi bidang telah ilmu
Suatu pertanyaan:
Obyek apa yang ditelaah ilmu ?
Bagaiman wujud yang hakiki dari obyek tersebut ?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia [seperti berpikir, merasa dan mengindera] yang membuahkan pengetahuan.
[Inilah yang melandasi ONTOLOGI]
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran orang Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontology. Pada dasarnya tidak ada pilihan bagi setiap orang pemilihan antara “kenampakan”[appearance] dan “kenyataan”[reality]. Ontologi menggambarkan istilah-istilah seperti: “yang ada”[being], ”kenyataan” [reality], “eksistensi”[existence], ”perubahan” [change], “tunggal” [one] dan “jamak”[many].
Ontologi merupakan ilmu hakikat, dan yang dimasalahkan oleh ontology adalah:
Apakah sesungguhnya hakikat realitas yang ada”rahasia alam” dibalik realitas itu?
Ontologi membahas bidang kajian ilmu atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu diawali dari subyeknya. Yang dimaksud dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek dari ilmu adalah manusia; bagian manusia paling berperan adalah daya pikirnya.
DASAR ONTOLOGI ILMU
Apakah yang ingin diketahui ilmu atau apakah yang menjadi bidang telaah ilmu? Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris, mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia atau yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan pancainderanya. Ruang lingkup kemampuan pancaindera manusia dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu pancaindera tersebut membentuk apa yang dikenal dengan dunia empiris. Dengan demikian obyek ilmu adalah dunia pengalaman indrawi. Ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris.
Pengetahuan keilmuan mengenai obyek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu sebab kejadian alam sesungguhnya sangat kompleks. Ilmu tidak bermaksud "memotret" atau "mereproduksi" suatu kejadian tertentu dan mengabstaraksikannya kedalam bahasa keilmuan. Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, dengan membatasi diri pada hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses keilmuan bertujuan untuk memeras hakikat empiris tertentu, menjangkau lebih jauh dibalik kenyatan-kenyataan yang diamatinya yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat diperkirakan melalui kenyataan-kenyataan iru. Disinilah manusia melakukan transendensi terhadap realitas.
Untuk mendapatkan pengetahuan ini ilmu membuat beberapa andaian [asumsi] mengenai obyek-obyek empiris. Asumsi ini perlu, sebab pernyataan asumstif inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita.
ASUMSI EMPIRIS :
Ilmu memiliki tiga asumsi mengenai obyek empirisnya :
Asumsi pertama : Asumsi ini menganggap bahwa obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain misalnya dalam hal bentuk struktur, sifat dsb. Klasifikasi [taksonomi] merupakan pendekatan keilmuan pertama terhadap obyek.
Asumsi kedua: asumsi ini menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu (tidak absolut tapi relatif ). Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu obyek dalam keadaan tertentu. Ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang sedang diselidiki.
Asumsi ketiga : Asumsi ini menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan/sekuensial kejadian yang sama. Misalnya langit ,mendung maka turunlah hujan. Hubungan sebab akibat dalam ilmu tidak bersifat mutlak. Ilmu hanya mengemukakan bahwa "X" mempunyai kemungkinan[peluang] yang besar mengakibatkan terjadinya "Y". Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang [probabilistik]. Statistika adalah teori peluang.
Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalsime dan empirisme. Secara ontologis, objek dibahas dari keberadaannya, apakah ia materi atau bukan, guna membentuk konsep tentang alam nyata (universal ataupun spesifik).
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologi yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Filsafat berasal dari kata filo dan sofia (bahasa Yunani). Filo artinya cinta atau menyenangi dan sofia artinya bijaksana. Konon orang yang selalu mendambakan kebijaksanaan adalah orang-orang yang pandai, orang yang selalu mencari kebenaran. Dalam mencari kebenaran ini, mereka mendasarkan kepada pemikiran dan logika dan bahkan berspekulasi.
Hal ini terjadi pada zaman sebelum ilmu berkembang. Hasil pemikiran mereka ini kemudian menjadi tantangan bagi para ilmuwan selanjutnya dimana dalam menemukan kebenaran lebih mementingkan penemuan-penemuan empiris. Logika bukan sebagai metode untuk menemukan atau mencari kebenaran tersebut.
Melihat lahirnya ilmu adalah karena ketidakpuasan para ilmuwan terhadap penemuan kebenaran oleh para filosof maka dapat dikatakan bahwa ilmu merupakan bentuk-bentuk perkembangan filsafat. Selanjutnya dikatakan bahwa ilmu filsafat merupakan induk dari ilmu.
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari 2 cabang utama, yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang kedalam cabang ilmu-ilmu sosial (social sciences). Selanjutnya ilmu-ilmu alam membagi diri menjadi 2 kelompok lagi, yakni ilmu alam (physical sciences) dan ilmu hayat (biological sciences).
Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Yang mula-mula berkembang adalah antropologi, psikologi, ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik. Selanjutnya, baik cabang-cabang ilmu alam maupun ilmu-ilmu politik bercabang-cabang lagi sehingga sampai pada saat ini terdapat sekitar 650 cabang keilmuan.
Meskipun filsafat telah berkembang menjadi bemacam-macam ilmu namun filsafat sendiri tidak tenggelam bahkan ikut berkembang pula seirama dengan perkembangan ilmu. Dalam arti yang operasional filsafat adalah suatu pemikiran yang mendalam sampai ke akar-akarnya terhadap suatu masalah atau objek.
Sesuai dengan perkembangan filsafat dan pengertiannya maka muncul berbagai macam filsafat, antara lain filsafat alam (metafisika), filsafat ketuhanan (theologia), filsafat manusia, filsafat ilmu, dan sebagainya.
Pengetahuan, Ilmu dan Filsafat
Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam memahami alam sekitarnya terjadi proses yang bertingkat dari pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan filsafat. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan "what", misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu (science) bukan sekedar menjawab "what" melainkan akan menjawab pertanyaan "why" dan "how", misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi.
Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara universal maka terbentuklah disiplin ilmu.
Dengan perkataan lain, pengetahuan itu dapat berkembang menjadi ilmu apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Mempunyai objek kajian
b. Mempunyai metode pendekatan
c. Bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum)
Sedangkan filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta sampai batas kemampuan logika manusia. Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia.
Dengan perkataan lain, batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan "why" dan "how" sedangkan filsafat menjawab pertanyaan "why, why, dan why" dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang pengkajian filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan melainkan mengaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi.
Namun demikian dengan taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan diri pada norma-norma filsafat. Misalnya ekonomi masih merupakan penerapan etika (appliet ethics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif (berpikir dari hal-hal yang umum kepada yang bersifat khusus) berdasarkan asas-asas moral yang filsafat.
Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan bertumpu sepenuhnya pada hakekat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan, ilmu masih mendasari diri pada norma yang seharusnya sedangkan dalam tahap terakhir ilmu didasarkan atas penemuan-penemuan.
Sehingga dalam menyusun teori-teori ilmu pengetahuan tentang alam dan isinya ini maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif (berpikir dari hal-hal yang bersifat khusus kepada hal-hal yang bersifat umum) dengan jembatan yang berupa pengujian hipotesis.
Selanjutnya proses ini dikenal sebagai metoda deducto hipotetico-verivikatif dan metode ini dipakai sebagai dasar pengembangan metode ilmiah yang lebih dikenal dengan metode penelitian. Selanjutnya melalui atau menggunakan metode ilmiah ini akan menghasilkan ilmu.
August Comte (1798-1857) membagi 3 tingkat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut diatas kedalam tahap religius, metafisik, dan positif. Hal ini dimaksudkan dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat atau dalil ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi (deducto).
Dalam tahap kedua, orang mulai berspekulasi, berasumsi, atau membuat hipotesis-hipotesis tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahaan yang terbatas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan berdasarkan postulat metafisika tersebut (hipotetico).
Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verivikasi yang objektif (verivikatif).
Secara visual proses perkembangan ilmu pengetahuan tersebut yang selanjutnya merupakan kerangka-kerangka metode ilmiah dapat digambarkan seperti terlihat dalam skema (lihat Skema Metode Deducto-Hipotetico-Verivikatif dibawah !).
Ontologi Ilmu Pengetahuan
Ontologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang membahas pandangan terhadap hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah, termasuk pandangan terhadap sifat ilmu itu sendiri. Topik-topik menarik yang sering dibahas dalam topik ontologi ini adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul sekitar Apakah realitas atau ada yang begitu beraneka ragam dan berbeda-beda pada hakikatnya satu atau tidak ? apabila memang benar satu, apakah gerangan yang satu itu ? apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang tanpak atau tidak ?.
Terdapat 3 teori ontologis, yaitu :
Teori idealisme
Teori ini mengajarkan bahwa ada yang sesungguhnya berada didunia ide. Segala sesuatu yang tampak dan mewujud nyata dalam alam inderawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya, yang berada di dunia ide. Dengan kata lain, realitas yang sesungguhnya bukanlah yang kelihatan, melainkan yang tidak kelihatan.
Teori Materialisme
Materialisme menolak hal-hal yang tidak kelihatan. Bagi materialisme, ada yang sesungguhnya adalah keberadaanya semata-mata bersifat material atau sama sekali bergantung pada material. Jadi, realitas yang sesungguhnya adalah alam kebendaan, dan segala sesuatu yang mengatasi alam kebendaan itu haruslah dikesampingkan. Oleh sebab itu, seluruh realitas hanya mungkin dijelaskan secara materialistis.
Teori Dualisme
Dualisme mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua tipe fundamental yang berbeda dan tak dapat direduksi kepada yang lainnya. Kedua tipe fundamental dari substansi itu ialah materil dan mental. Dengan demikian, dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi atau yang ada secara fisis dan mental atau yang beradanya tidak kelihatan secara fisis.
KEBENARAN ILMIAH
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu, kegiatan berpikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistimologi terhadap “kebenaran” membawa orang kepada sesuatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.
Kebenaran dalam wacana ilmu adalah ketepatan metode dan kesesuaian antara pemikiran dengan hukum-hukum internal dari objek kajiannya. Dalam epistemologis dan filsafat ilmu pengetahuan dikenal empat macam teori kebenaran yaitu :
1. Teori Kebenaran Korespondensi (the Correspondence of Truth, the accordance theory of truth), menyatakan bahwa suatu teori/proposisi benar bila proposisi atau teori itu sesuai dengan fakta (kenyataan). Kebenaran adalah kesetiaan pada realitas obyektif. Aristoteles menyebut ini dengan teori pengambaran/cermin yang ia rumuskan sebagai “veritas est adaequatio intellectus et rhei”
2. Teori Kebenaran Konsistensi atau koherensi (the concistence theory of truth, the accodance theory of truth).
Kebenaran adalah saling hubungan antar putusan-putusan atau kesesuaian/ketaatasasan dengan kesepakatan atau pengetahuan yang telah dimiliki.
3. Teori kebenaran Pragmatis (the pragmatic theory of truth)
Benar tidaknya suatu teori justru ditentukan oleh bemamfaat atau tidaknya teori itu bagi praksis kehidupan. Bahkan schiller menyatakan apa “yang berguna” (usefull) adalah benar dan yang “tidak berguna” (useless) adalah salah.
4. Teori kebenaran Performatif
Kebenaran dikaitkan dengan pernyataan, maka suatu pernyataan dikatakan benar apabila apa yang dinyatakan dilakukan sesuai dengan tindakan dan kewenangan yang ada padanya. Austin syarat tuturan performatif yang wajar sebagai berikut:
a. Tuturan itu dituturkan dalam situasi yang tepat sehingga pernyataan mempunyai efek bagi tindakan.
b. Harus diucapkan orang yang memiliki kempetensi/wewenang untuk itu.
c. Harus ada tangapan dan keterbukaan dua pihak, sehingga tuturan benar-benar menjadi tindakan.
d. Ada kesesuaian antara ucapan orang yang menyatakan tuturan dengan tindakannya sendiri.
Dalam filasafat islam, kebenaran sesungguhnya datang dari allah, melalui hukum-hukumnya yang sudah ada dan ditetapkan pada setiap ciptaan-Nya,yaitu dalam alam semesta, manusia dan Al-qur’an. Semua itu merupakan ayat-ayat Allah yang menjadi sumber kebenaran yang terkandung dalam sunnatullah : hukum alam, hukum akal sehat dan juga hukum agama (moralitas). Hal ini ditegaskan Allah dalam surat Ali imran ayat 60 berikut ini : “(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu. (QS. 3:60). Kemudian di jelaskan dalam Surat Sabaa’ ayat 6 : “supaya Allah nenberi balasan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh.Mereka itu adalah orang-orang yang baginya ampunan dan rezki yang mulia. (QS. 34:4). Tentang kebenaran alam semesta dinyatakan dalam surat Yunus ayat 5 berikut ini : “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 10:5). Dilanjutkan dalam surat Al-hijr ayat 85 berikut ini : “Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar-benar.Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik. (QS. 15:85). Untuk kebenaran Al-qur’an dinyatakan Allah dalam Surat Al-Baqarah : 213 berikut ini “Manusia itu adalah ummat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS. 2:213). Untuk manusia dijelaskan dalam surat Fussilat ayat 53 berikut ini : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu benar.Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu (QS. 41:53).

EPISTIMOLOGI

Epistemologi adalah pengetahuan sistematik
mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode
atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah).
Perbedaan landasan ontologi menyebabkan perbedaan
dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan yang
benar. Akal, akal budi,
pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan
sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal
model model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis,
positivisme, fenomenologi dan sebagainya. Epistemologi juga membahas bagaimana
menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolok
ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori koherensi, korespondesi
pragmatis, dan teori intersubjektif.
Pengetahuan merupakan daerah persinggungan
antara benar dan diperca-ya. Pengetahuan
bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja
yang bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan
pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan
yang tidak teruji.
Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan
analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar
yang logis. Sarana berpikir ilmiah
adalah bahasa, matematika dan statistika.
Metode ilmiah mengga-bungkan cara berpikir deduktif dan induktif
sehingga menjadi jembatan penghu-bung antara penjelasan teoritis dengan
pembuktian yang dilakukan secara empiris.
Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan
kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai
dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis
(atau ju-ga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau
tidak.
Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian
artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui
kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi
kehidupan manusia.
Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran
suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun
pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran
mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah.
Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena
penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu
pengetahan selalu berubah-ubah dan berkembang.
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara ‘alim (subjek) dan ma’lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Bila Kumpulan pengetahuan yang benar/episteme/diklasifikasi, disusun sitematis dengan metode yang benar dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta / kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya.
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
1. Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu.
2. Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan
makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat
juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Dalam epistemologi akan
dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi
ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan
ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan
demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan
pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.
Epistemologi mempermasalahkan kemungkinan mendasar mengenai pengetahuan [very possibility of knowledge].
Pada perkembangannya epistemology menampakkan jarak yang asasi antara rasionalisme dan empirisme, walaupun sebenarnya terdapat kecenderungan beriringan.
Landasan epistemologis tercermin secara operasional dalam metode ilmiah . Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan berdasarkan :
kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka tersebut dan melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud dengan menguji kebenaran pernyataan secara factual.
Metode ilmiah dikenal dengan :
Logico-hypothetico-verificative atau deducto--hypothetico-verificative
Suatu pertanyaan:
Bagaiman proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?
Bagaimana prosedurnya ?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ?
Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ?
Apakah kriterianya ?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?
Inilah Kajian epistemologis
SUMBER ILMU/ PENGETAHUAN
Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang menembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival).
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia yang disebabkan dua hal utama yaitu : Pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu.
Semua orang mengetahui memiliki pengetahuan. Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat. Dari situ timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan kita? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antara lain :
• Empiris
• Rasionalisme
• Intuisi, dan Wahyu.
SARANA ILMU/ PENGETAHUN
AKSIOLOGI
n Axios = Nilai (Value)
n Logi = Ilmu
n Axiologi adalah ilmu yang mengkaji tentang nilai-nilai.
Axiologi (teori tentang nilai) sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu pengetahuan manusia.
Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?
Dengan demikian Aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu (Wibisono, 2001)
Permasalahan aksiologi meliputi [1] sifat nilai, [2] tipe nilai, [3] criteria nilai, [4] status metafisika nilai.
Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat.
Untuk kepentingan manusia maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dipergunakan secara komunal dan universal.
Suatu pertanyaan:
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah moral ?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
Aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai dari sesuatu tergantung pada tujuannya. Maka pembahasan tentang nilai pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari tujuannya. Masing-masing manusia memang mempunyai tujuan sendiri. Namun pasti ada kesamaan tujuan secara obyektif bagi semua manusia. Begitu juga dengan pengetahuan. Semua pengetahuan memiliki tujuan objektif.
Tujuan dari pengetahuan adalah untuk mendapatkan kebenaran. Maka nilai dari pengetahuan atau ilmu adalah untuk mendapatkan kebenaran. Hal ini terlepas dari kebenaran yang didapatkan untuk tujuan apa. Apakah untuk memperbaiki atau untuk merusak diri.
Dalam penilaian sebuah kebenaran ada dua pandangan yang berbeda. Pertama adalah pandangan bahwa kebenaran bersifat mutlak. Pandangan ini disebut sebagai absolutisme. Pandangan kedua menyatakan bahwa kebenaran bersifat relatif (Relativisme).
Pembahasan tentang aksiologi begitu penting karena jika pengetahuan yang didapatkan manusia tidak dapat dipastikan atau dimutlakkan kebenarannya, maka bagaimana mungkin manusia dapat menyusun sebuah ilmu?. Bagaimana pula manusia akan menentukan pilihan jika antara satu pilihan dengan pilihan lain bernilai sama, yaitu relatif?
Pengertian relatif adalah jika sesuatu memiliki nilai yang berubah-ubah jika dibandingkan dengan sesuatu yang berbeda-beda. Misalnya 5 meter akan relatif panjang jika dibandingkan dengan 1 meter dan juga relatif pendek jika dibandingkan dengan 10 meter. Ketika manusia berpikir, maka pembanding dari pikiran tidak berubah-ubah yaitu kenyataan itu sendiri. Sehingga suatu pengetahuan hanya akan dihukumi dengan nilai benar atau salah. Jika suatu pengetahuan sesuai dengan realitasnya maka pengetahuan tersebut benar, begitu juga sebaliknya. Pembandingan kebenaran suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain yang berbeda-beda akan bernilai relatif.
DEDUKTIF DAN INDUKTIF
Induktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Dan menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal,seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Daam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh diatas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut juga dengan pengetahuan sintetik.
Deduktif ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
Popper tidak pernah menganggap bahwa kita dapat membuktikan kebenaran-kebenaran teori dari kebenaran pernyataan-pernyataan yang bersifat tunggal. Tidak pernah ia menganggap bahwa berkat kesimpulan-kesimpulan yang telah diverifikasikan, teori-teori dapat dikukuhkan sebagai benar atau bahkan hanya mungkin benar, contoh : jika penawaran besar, harga akan turun. Karena penawaran beras besar, maka harga beras akan turun.